search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Warga Lovina Laporkan Hakim ke Komisi Yudisial, Dugaan Keterlibatan Mafia Tanah Terungkap
Rabu, 9 Oktober 2024, 20:13 WITA Follow
image

Made Jodi, warga Lovina Buleleng, melaporkan sejumlah hakim ke Komisi Yudisial Provinsi Bali melalui Kuala hukumnya Adi Aryanta

IKUTI BERITABULELENG.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABULELENG.COM, BULELENG.

Made Jodi, seorang warga Lovina, telah melaporkan sejumlah hakim ke Komisi Yudisial melalui kuasa hukumnya, Adi Aryanta, SH, MH, di kantor perwakilan Komisi Yudisial Provinsi Bali di Jalan Suli, Denpasar. 

Laporan ini diajukan oleh Jodi atas nama warga Desa Kaliasem yang menganggap terdapat kejanggalan serius dalam putusan hakim di Pengadilan Negeri (PN) Singaraja dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya.

Jodi menyoroti kasus perdata dengan nomor perkara 414/Pdt.G/2016/PN.SGR, di mana Kwinarti menggugat Wayan Madra dan pihak lain. 

Kwinarti berhasil memenangkan kasus ini di semua tingkatan hingga ke Mahkamah Agung. Namun, pada Peninjauan Kembali (PK) yang berlangsung di tahun 2020, Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut.

Koordinator kuasa hukum, Adi Aryanta, mengungkapkan beberapa kejanggalan yang ditemukan dalam putusan tersebut. 

"Hakim tidak mempertimbangkan penguasaan fisik tanah oleh Wayan Madra, yang melanggar Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 327 K/Sip/1976.

Selain itu, tidak diperhatikan pula perbedaan luas tanah yang disengketakan, bertentangan dengan Yurisprudensi No. 81 K/Sip/1971," jelas Adi Aryanta.

Jodi juga mengajukan laporan terhadap PTTUN Surabaya karena putusan yang dinilai tidak sesuai dengan fakta. Hal ini berakibat pada pencabutan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diwarisi Jodi dari orangtuanya. 

Pembatalan sertifikat ini terjadi setelah sejumlah putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar dan PTTUN Surabaya, yang menciptakan kekacauan dalam kepemilikan tanah.

Adi Aryanta menegaskan bahwa kesalahan dalam pembatalan sertifikat bukan akibat ketik, tetapi akibat proses hukum yang tidak tepat, yang berpotensi merugikan pemilik sah tanah. 

"Kami menemukan bahwa SHM Nomor: 233 dan SHM Nomor: 223 memiliki lokasi yang berbeda, menunjukkan adanya kesalahan dalam objek tanah yang dipermasalahkan," tambahnya.

Melihat kejanggalan ini, pihak Jodi menduga adanya mafia tanah yang berusaha menguasai lahan milik orangtuanya. 

Proses hukum yang terus berlanjut dianggap sebagai modus yang menyerupai tindakan yang pernah diungkapkan oleh mantan Menkopolhukam, M. Mahfud MD.

Melalui kuasa hukumnya, Jodi berharap Komisi Yudisial dapat menindaklanjuti laporannya untuk memastikan keadilan dan integritas dalam sistem peradilan Indonesia. 

"Kami menuntut agar proses hukum ini diperiksa secara mendalam untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang," tutup Adi Aryanta.

Editor: Aka Kresia

Reporter: Rilis Pers



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabuleleng.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Buleleng.
Ikuti kami